Belitung, faktamediababel.com – Kemunculan sejumlah nama tokoh di ruang publik Kota Tanjung Pandan, Belitung, dalam beberapa hari terakhir menuai polemik. Publik mempertanyakan klaim ruang publik oleh satu kelompok untuk satu acara dalam waktu panjang, terutama terkait penempatan nama tokoh yang dianggap tidak memiliki batasan dan klasifikasi yang jelas.
Polemik ini muncul bersamaan dengan penyelenggaraan Belitung Chinese International Festival (BCIF). Di beberapa lokasi strategis, seperti bundaran dan taman, terpampang spanduk besar yang menampilkan nama-nama tokoh, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, dari berbagai etnis dan latar belakang.
Kekhawatiran Gesekan
Banyak pihak yang mempertanyakan kriteria pemilihan nama-nama tersebut. Apakah hanya untuk kalangan etnis tertentu, tokoh yang masih hidup atau pahlawan, dan dari bidang apa? Kekhawatiran muncul bahwa tanpa batasan yang jelas, pencampuran nama tokoh dari berbagai latar belakang dapat memicu gesekan antar kelompok.
“Ruang publik itu ya ruang publik, tidak elok diklaim untuk satu acara oleh satu kelompok dalam waktu lama,” kata Nurmansunata, S.T. (Pemimpin Redaksi Media Online suararakyatnusantara.com), Senin (18/3). “Harus ada batasan-batasan dan klasifikasi yang jelas agar tidak menimbulkan kecemburuan dan gesekan.”
Hak Paten BCIF dan Campur Aduk Adat
Polemik ini semakin memanas dengan informasi bahwa BCIF telah dipatenkan (daftar HAKI) agar dapat diadakan setiap tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik pencampuran adat Melayu dan adat lain dalam satu visi dan misi festival.
“Siapa yang punya ide ini? Apa tujuannya?” tanya Nurmansunata, S.T. (Pemimpin Redaksi Media Online suararakyatnusantara.com). “Campur aduk adat seperti ini bisa membingungkan masyarakat dan merusak nilai-nilai adat yang sudah ada.”
Urgensi Transparansi dan Dialog
Masyarakat Belitung menuntut transparansi dari panitia BCIF dan pemerintah daerah terkait proses pemilihan nama tokoh dan pencampuran adat dalam festival. Dialog terbuka dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk tokoh adat dan masyarakat, dianggap penting untuk meredakan ketegangan dan menemukan solusi yang terbaik.
Polemik ini menjadi contoh penting tentang bagaimana ruang publik harus dikelola dengan adil dan transparan. Klaim sepihak oleh satu kelompok dapat memicu perpecahan dan gesekan antar kelompok. Dialog dan musyawarah menjadi kunci untuk mencapai solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak.
(*/Red/Nofi)
Share this content: