Opini : “Pilkada Serentak Tahun 2024 Melawan Kotak Kosong”, Jumat, 20 September 2024.

Bangka Selatan, Faktamediababel.com —- Dalam pemilihan Kepala Daerah yang diselenggarakan serentak di tiga Daerah Provinsi Bangka Belitung pada tahun 2024, berpotensi dan nyaris definitif akan diikuti oleh satu bakal pasangan calon atau disebut juga calon tunggal.
Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bangka Belitung, tiga wilayah tersebut adalah Kabupaten Bangka Selatan, Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka.

Pemilihan Bupati Bangka Selatan ada pasangan Riza-Debby, Pemilihan Wali Kota Pangkalpinang hanya diikuti pasangan Molen-Hakim dan Kabupaten Bangka cuma diisi oleh pasangan Mulkan-Ramadian. Tiga pasangan calon dipastikan telah mendaftar diri di Daerah masing-masing.
Terkhusus di Kabupaten Bangka Selatan, Riza-Debby yang didukung kemudian dideklarasikan sebagai calon Kepala Daerah oleh koalisi “Rakyat Bangka Selatan Bersatu” yang secara keseluruhan memiliki tiga puluh kursi di DPRD dimana terdiri dari sebelas dari delapan belas Partai Politik (Parpol).
Tujuh Parpol yang tidak ikut serta dalam koalisi “Rakyat Bangka Selatan Bersatu” menjadi ragu dan nyaris padam gaung untuk mencalonkan kandidat Kepala Daerah yang kuat untuk melawan Riza Herdavid-Debby Vita Dewi hasil daulat koalisi “Rakyat Bangka Selatan Bersatu”. Sebelas partai gabungan koalisi merupakan partai besar yang disi oleh PDI Perjuangan, Gerindra, Demokrat, NasDem, PKS, Golkar, PBB, PPP, Perindo, PKB dan PAN.

Fenomena partisipasi pasangan calon tunggal sebagai peserta Pilkada bukanlah hal baru, namun Pilkada yang hanya memiliki satu pasangan calon baru akan dilaksanakan pada tahun 2024, khususnya bagi penduduk Provinsi Bangka Belitung.
Keikutsertaan pasangan calon dalam Pilkada diatur dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Hingga berita ini diturunkan, KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota belum menetapkan pasangan calon yang akan dinyatakan layak secara yuridis untuk mengikuti pilkada serentak 2024 berdasarkan Pasal 54 C UU Nomor 10 Tahun 2016.
Menariknya, ada pihak atau kelompok Politik tertentu yang menggemakan pengistilahan ”kotak kosong”,
Padahal ”kotak kosong” tidak ada dalam UU Nomor 10 Tahun 2016.
Orang-orang membicarakan kotak kosong, mungkin karena hanya ada dua kotak di surat suara.
Yang satu terdapat gambar pasangan calon, dan satunya tidak ada gambar pasangan calon atau kosong.
Dengan mempertimbangkan berbagai alasan, pihak atau kelompok Politik tersebut mendorong masyarakat untuk datang ke TPS dan memilih di surat suara yang bergambar kosong daripada memilih di bagian surat suara yang memuat foto pasangan calon. Faktanya, tidak ada larangan bagi individu maupun kelompok untuk mendukung maupun mengkampanyekan ”kotak kosong”.
Sesuai Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota (selanjutnya disebut pasangan calon) harus memenuhi persyaratan sebagai calon pasangan calon dan ditetapkan sebagai peserta Pemilihan Kepala dlDaerah.
Menilik pada penjelasan di atas, munculnya frasa pasangan calon tunggal disebabkan karena tidak ada pasangan calon lain yang mendaftar sebagai peserta pemilihan Kepala Daerah atau memenuhi syarat.
Untuk itu karena tidak ada lawan, timbul lah frasa pasangan calon tunggal melawan ”kotak kosong”.
Menilik ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 54 C ayat (2), sebagaimana KPU Provinsi serta Kabupaten/Kota yang hanya diikuti satu pasangan calon yang memenuhi syarat harus kerja ekstra melakukan sosialisasi, utamanya mengajak warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) guna melegalisasi hak pilihnya. sebab ketentuan Pasal 54 C ayat (3) pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
KPU Provinsi serta Kabupaten/Kota beserta jajaran dibawahnya wajib mensosialisasikan kepada masyarakat terkait surat suara yang ada foto pasangan calon dan yang tidak terdapat foto alias polos, “KOTAK KOSONG”.
Ajakan agar masyarakat datang ke TPS untuk memberikan hak pilih harus lah pula dibarengi dengan pemberian pemahaman tentang pasangan calon tunggal serta ‘kotak kosong’.
Begitu juga dengan tim pemenangan pasangan calon tunggal. Jangan terlalu yakin bahwa pasangan calon jagoannya akan terpilih. Karena kenyataan pasangan calon dikalahkan oleh ‘Kotak Kosong’ sudah pernah terjadi di Indonesia, tepatnya pada Pemilihan Wali Kota serta Wakil Wali Kota Makassar di Juni 2018 lalu. Insiden Pilwako Makassar itu membuka mata, bahwa ‘kotak kosong tidak melompong’.
Jikalau KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib meyakinkan masyarakat agar mau datang ke TPS guna menyampaikan hak suaranya, maka tim pemenangan wajib meyakinkan masyarakat agar mencoblos surat suara yg terdapat gambar pasangan calonnya. Tidak ada gambar pada surat suara bukan berarti tidak ada lawan, tapi justru lawannya tidak terlihat. Kalau kentara lawannya siapa, mungkin mampu dipetakan basis serta kekuatannya.
Bunyi Pasal 54 D (1) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih di Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 54 C, Bila mempunyai suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah. Bila tidak, dipastikan pasangan calon itu kalah oleh ‘kotak kosong’ dan konstitusi mengatakan wajib diselenggarakan pilkada ulang.
Tetapi tak perlu khawatir, pasangan calon yg kalah oleh ‘kotak kosong’ bisa mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya, yang akan diulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang termuat dalam produk legislasi.
Melihat maraknya calon tunggal melawan ”kotak kosong” dalam pilkada diberbagai daerah di Indonesia tahun 2024 seakan menjadi tren, padahal jika ditelaah lebih mendalam bahwa situasi seperti ini merupakan konspirasi yang dibentuk secara sengaja oleh elit politik guna menyingkirkan kandidat lain agar memenangkan pilkada secara lebih mudah.
Karena diakui atau tidak, meroketnya suatu elektabilitas apalagi petahana, itu dapat memunculkan stigma bagi pesaing “agar jangan bersaing karena pada akhirnya akan kalah”.
Namun dicurigai terdapat juga kecenderungan untuk menyingkirkan kandidat dengan elektabilitas tinggi agar penantang yang lebih lemah bisa memenangkan kompetisi politik tersebut, apabila ini terjadi maka konspirasi oleh elit politik sangatlah berbahaya dan mengancam proses Demokrasi yang kita jaga pasca era orde baru kemudian masa reformasi hingga sekarang.
Pada awalnya skenario melawan ”kotak kosong” timbul karena kekuatan kandidat sebagai lawan tidak lah seimbang, akan tetapi belakangan ini fenomena melawan kotak kosong dimanfaatkan guna menyingkirkan kandidat potensial yang tidak disukai elit politik dengan menguasai partai politik tersebut.
Aturan pilkada yang memberi ruang untuk ”kotak kosong” sering dimanfaatkan oleh elit politik untuk menciptakan ”kotak kosong” dengan tanpa melakukan pelanggaran hukum.
Padahal sesungguhnya “kotak kosong” merupakan cerminan adanya skala kegagalan dalam proses rekrutmen politik yang seharusnya menjadi tanggung jawab partai politik.
Skenario “kotak kosong” dapat diindikasikan sebagai bentuk pelecehan terhadap demokrasi setelah praktik kolusi dan nepotisme. Terjadi pengambilalihan demokrasi oleh elit politik dan skenario melawan kotak kosong harus dihentikan karena merupakan konspirasi yang “berbahaya bagi keutuhan demokrasi”.
Jika terjadi pembiaran secara berkesinambungan oleh unundang-undang pilkada kita yang memberikannn ruang bagi eksistensi ‘kotak kosong’, maka ini akan semakin merusak sendi-sendi demokrasi kita. Pilkada tahun 2024 ini dikhawatirkan tidak menghasilian kompetisi calon dan figur yang layak, tentunya adanya kecenderungan aklamasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik.
Salah satu cara untuk menghentikan konspirasi yang berbahaya bagi keutuhan demokrasi ini adalah dengan melarang skenario melawan kotak kosong seperti misalnya untuk jabatan eksekutif mau tidak mau harus dijalankan oleh penjabat sementara sampai periode berikutnya. Dengan demikian, upaya pembajakan demokrasi oleh elit politik dapat diminimalisir sejak awal.
Pada prinsipnya penulis mengajak semuanya berfikir jernih melalui akal sehat, sebaiknya kesampingkan dulu urusan sakit hati dan dendam. Beda pendapat dan pendapatan itu adalah hal biasa, namun ada kepentingan yang lebih besar yang harus diutamakan, yaitu kepentingan pembangunan daerah.
Pilkada ulang hanya akan menghabiskan banyak biaya, padahal dana puluhan miliar itu bisa digunakan untuk banyak keperluan yang lebih bermanfaat lainnya. Pilkada ulang juga belum tentu memberi kepastian terpilihnya pasangan calon yang sesuai keinginan kita, bisa saja yang terpilih adalah yang lebih buruk.
Diterima atau tidak? Tanggal 27 November 2024 nanti hanya terdapat dua pilihan yaitu coblos surat suara yang ada gambar pasangan calon atau yang bermotif polos? Menerima kehadiran yang terbaik dari yang terburuk adalah satu-satunya pilihan saat ini paling realistis saat ini.(Red/*).
Share this content: