23 Oktober 2025

Opini: Oleh Dhimas

Bangka Selatan, Faktamediababel.com —- Perubahan lanskap sosial-ekonomi di sejumlah desa pesisir Bangka patut dicermati. Dusun Tanah Merah, Tapak Hantu, Batu Belubang, hingga Matras dulunya identik dengan isu pertambangan timah. Kini, perlahan wajahnya bergeser: pantai, agrowisata, dan atraksi lokal mulai menghidupi ekonomi warga. Sebagian bahkan dijadikan destinasi wisata populer. Fenomena ini sering dianggap sebagai bukti “transformasi” daerah pascatambang.
Namun, apakah perubahan itu benar-benar berkelanjutan? Apakah hanya pergantian label dari “tambang” menjadi “wisata”, tanpa pemulihan ekologis yang nyata?

Wisata dan Tambang: Dua Wajah yang Masih Berdampingan

Di Tanah Merah, warga sempat terlibat dalam aktivitas tambang yang kemudian dilegalkan melalui skema PT Timah. Di sisi lain, pantainya kini dikunjungi wisatawan lokal. Batu Belubang dan Matras juga berkembang sebagai desa wisata, namun masih menyimpan jejak tambang di sekitar wilayahnya. Realitas ini menunjukkan bahwa “wisata” dan “tambang” masih berjalan berdampingan, bukan sepenuhnya beralih.

Kewajiban Reklamasi: Regulasi Ada, Pengawasan Lemah

Secara hukum, setiap pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) berkewajiban melakukan reklamasi dan pascatambang. Kementerian ESDM bahkan telah menetapkan pedoman teknis. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung juga berkali-kali mengingatkan perusahaan agar serius melakukan reklamasi. DPRD pun menjadi arena diskusi tuntutan masyarakat
.
Namun, praktiknya sering berbeda. Banyak kawasan bekas tambang yang dibiarkan menganga, sementara kawasan yang “disulap” jadi wisata kadang hanya diberi sentuhan estetika, tanpa memulihkan ekosistem tanah, air, maupun laut. Buku kajian Senja Kala Tata Kelola Timah di Bangka Belitung mencatat bahwa kelemahan pengawasan dan dominasi kepentingan ekonomi membuat program reklamasi sering tidak menyentuh kebutuhan ekologis maupun sosial warga.

Batu Beriga: Potensi Ulangan Konflik Lama

Kini, mata publik tertuju ke Batu Beriga. Desa ini selama ini dikenal sebagai wilayah perikanan produktif dan kaya keanekaragaman laut. Namun, ada dorongan sebagian kelompok untuk membuka tambang dengan mekanisme IUP agar “lebih legal” dan mengurangi praktik liar.

Masalahnya, legalisasi tidak otomatis berarti berkelanjutan. Tanpa AMDAL ketat, zonasi pesisir yang jelas, serta partisipasi masyarakat dalam setiap keputusan, Batu Beriga bisa bernasib sama seperti kawasan lain: kehilangan fungsi ekologis dan memunculkan konflik antara nelayan, warga, dan penambang.

Peran Pemerintah dan DPRD: Jangan Sekadar Retorika

Gubernur dan DPRD memiliki posisi strategis. Aspirasi warga pro-tambang maupun yang menolak harus diterima, tetapi keputusan akhir wajib berbasis data ilmiah, kajian lingkungan, dan evaluasi kebijakan nasional. Kementerian ESDM telah mengatur standar pascatambang yang partisipatif. Artinya, peran politik daerah bukan hanya menyuarakan aspirasi, tetapi memastikan reklamasi dan tata kelola benar-benar dilaksanakan dengan transparan.

Menatap Masa Depan: Apa yang Harus Dilakukan?

  1. Jangan romantisasi wisata bekas tambang. Transformasi harus dibuktikan dengan indikator reklamasi nyata: kualitas air, vegetasi, dan keberlanjutan ekonomi masyarakat.
  2. AMDAL wajib ditegakkan. Setiap rencana tambang baru, terutama di pesisir seperti Batu Beriga, harus melalui kajian dampak lingkungan yang komprehensif.
  3. Partisipasi masyarakat nyata. Desa, nelayan, dan kelompok perempuan harus dilibatkan dalam setiap proses perizinan dan rencana pascatambang.
  4. Audit independen reklamasi. Pemerintah daerah perlu memastikan hasil reklamasi diaudit secara terbuka dan hasilnya dipublikasikan.

Tanah Merah, Tapak Hantu, Batu Belubang, dan Matras memberi pelajaran berharga: ekonomi bisa tumbuh dari transformasi lahan bekas tambang. Tetapi jika Batu Beriga mengikuti pola lama — tambang masuk tanpa tata kelola yang kokoh — maka kita hanya mengulang sejarah luka yang sama.
Pertanyaannya sederhana, tapi penting: apakah kita ingin pembangunan yang berumur panjang, atau sekadar peralihan wajah dari tambang ke wisata yang rapuh?

Share this content:

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *