
PANGKALPINANG, Faktamediababel.com – Negara tampaknya benar-benar takluk di hadapan mafia timah yang kini menguasai Kolong Marbuk Kenari dan Pungguk, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah. Wilayah ini sejatinya merupakan area konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) resmi milik PT Timah Tbk. Namun, selama lebih dari dua pekan terakhir, kawasan ini justru menjadi surga bagi aktivitas tambang ilegal. Senin (30/6/2025).
Ironisnya, penjarahan cadangan timah negara ini dilakukan secara terang-terangan menggunakan puluhan Ponton Isap Produksi (PIP) jenis TI Gerbok/Tower dan TI manual. Berdasarkan informasi jaringan media KBO Babel, tercatat sebanyak 80 unit TI Gerbok/Tower dan 30 unit TI manual aktif beroperasi di lokasi tersebut.
Lebih mencengangkan lagi, hasil tambang liar ini diduga kuat ditampung oleh oknum yang mengatasnamakan PT Mitra Stania Prima (MSP), sebuah perusahaan yang disebut-sebut berafiliasi dengan jaringan bisnis keluarga RI 1, yakni Hasyim Djojohadikusumo dan Herwindo sebagai perwakilan perusahaan di Bangka Belitung. Informasi menyebutkan, pasir timah dibeli oleh PT MSP seharga Rp90.000 per kilogram, namun dipotong “fee koordinasi” sebesar 20 persen.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah berulang kali menegaskan bahwa mafia timah harus diberantas. Ia memerintahkan seluruh aparat penegak hukum, mulai dari Kejaksaan, TNI, hingga Polri, untuk tidak berkompromi terhadap perusakan lingkungan dan kerugian negara akibat tambang ilegal. Namun, perintah ini tampaknya hanya menjadi slogan kosong di Bangka Belitung.
Diduga Ada Keterlibatan APH
Fakta di lapangan menunjukkan tidak adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum (APH). Bahkan, beredar informasi bahwa oknum dari institusi TNI-Polri justru diduga terlibat langsung sebagai pelindung kegiatan tambang ilegal tersebut. PT Timah Tbk, sebagai pemegang IUP resmi, juga memilih bungkam, memunculkan pertanyaan besar di tengah masyarakat.
Hasil pantauan di lokasi menunjukkan, terdapat lima kelompok besar yang menguasai area tambang ilegal di Kolong Marbuk Kenari dan Pungguk. Masing-masing kelompok memiliki jalur distribusi dan bendera identifikasi yang berbeda:
1. Kubu 1: Dipimpin IS alias “Sultan Koba” dan YI, mantan ketua OKP yang disebut dekat dengan Bupati Bangka Tengah. Menggunakan bendera merah putih di setiap ponton. Pasir timah mereka dibeli oleh PT MSP.
2. Kubu 2: Dipimpin RI, mantan ketua ormas Pemuda Pancasila Bangka Tengah, dan ED, tokoh pemuda dari Nibung. Ponton berbendera hijau putih dijaga oleh oknum anggota TNI Korem 045/Garuda Jaya. Mengaku pasokan ditampung PT Timah.
3. Kubu 3: Dikoordinir MAN, AS, dan CU, dengan bendera putih bernomor. Menjual pasir timah ke cukong Abas Lubuk.
4. Kubu 4: Aliansi Lukman Cs, menggunakan bendera putih biru (mirip bendera Argentina). Juga memasok ke cukong Abas.
5. Kubu 5: Terdiri dari PI, AX, SR, dan WN. Pasir timah mereka ditampung oleh cukong Akbar Botak dari Toboali.
Indikasi Pelanggaran Hukum
Aktivitas tambang ilegal ini berpotensi melanggar berbagai ketentuan hukum, antara lain:
UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158: Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Penambangan tanpa izin lingkungan termasuk perusakan lingkungan dan dapat dikenakan pidana.
KUHP Pasal 421 dan 423: Oknum aparat yang menyalahgunakan wewenang untuk melindungi atau memfasilitasi kegiatan ilegal dapat dijerat dengan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan atau pemerasan.
PT Timah Dinilai Lalai
Pembiaran oleh PT Timah juga dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat. Sebagai pemegang IUP sah, PT Timah berkewajiban menjaga dan mengamankan wilayah konsesinya. Terlebih lagi, jabatan Direktur Utama PT Timah saat ini diisi oleh mantan prajurit Korps Baret Merah (Kopassus), yang semestinya memiliki komitmen tinggi dalam menumpas kejahatan pertambangan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Kapolres Bangka Tengah, meskipun kondisi di lapangan sudah sangat memprihatinkan. Pembiaran ini dinilai setara dengan membiarkan perampokan sumber daya alam negara secara terbuka.
Jika negara terus kalah oleh mafia timah, maka bukan hanya lingkungan yang rusak, tetapi juga kewibawaan hukum dan institusi negara akan hancur di mata rakyat. Masyarakat menanti tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Jika tidak, publik akan semakin percaya bahwa penjarahan ini berlangsung dengan restu diam-diam dari mereka yang seharusnya menjaga hukum.
(KBO Babel).
Share this content:
